(Yohanes Lukas Dony Anggoro / 22025010196)
Pengertian & Sejarah Revolusi Industri Pertama 1.0
Revolusi industri adalah proses
transformasi besar pada kegiatan produksi yang mana mengubah sistem produksi
dari cara yang sebelumnya sudah diterapkan menuju ke cara baru yang lebih produktif,
murah, efisien, dan efektif. Kegiatan revolusi industri pertama dimulai pada
abad ke 18 dan ditandai dengan dimulainya penerapan teknologi uap pada kegiatan
produksi manusia. Salah satu mesin uap pertama yang berperan dalam memicu
revolusi industri adalah mesin pompa air yang digunakan untuk memompa air
keluar dari poros tambang batu bara karya Thomas Newcomen (1664 – 1729)
(Mohajan, 2019). Revolusi industri pertama ini dikenal sebagai revolusi
industri 1.0 dan dimulai di negara Inggris. Pada revolusi industri 1.0, banyak
kegiatan produksi manusia yang sebelumnya hanya mengandalkan tenaga hewan
maupun manusia dirubah menjadi mengandalkan mesin uap. Perubahan ini berdampak
pada meningkatnya perekonomian dan penghasilan perkapita negara menjadi enam
kali lipat sehingga dapat mendorong perubahan-perubahan baru yang nantinya memicu
kembali revolusi industri generasi selanjutnya (Annisa, 2021). Revolusi
industri 1.0 ini juga berdampak pada dunia pertanian, contohnya adalah invensi
mesin pembajak bertenaga uap Fowler yang dikembangkan sekitar tahun 1850 –
1860an oleh John Fowler (1826 – 1864).
.jpg)
Revolusi Industri Kedua 2.0
Revolusi industri kedua 2.0 terjadi pada abad ke 19 dan ditandai dengan mulai meluasnya penerapan listrik dalam mendukung aspek kehidupan manusia (Annisa, 2021). Penerapan listrik ini mampu merombak cara produksi manusia menjadi lebih murah, mudah, dan efisien. Pada saat revolusi industri 2.0, kegiatan produksi manusia mulai dibantu dengan peralatan-peralatan listrik sehingga mampu meningkatkan output produksi menjadi lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dan terjamin keseragamannya. Revolusi industri 2.0 ini dicirikan dengan ditemukannya mekanisasi sistem produksi massal dengan menggunakan jalur perakitan yang menyebabkan proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien serta mulai diterapkannya standarisasi mutu dan kualitas dari hasil produksi. Pada saat revolusi industri 2.0, kegiatan produksi massal untuk barang-barang kompleks seperti mobil dan pesawat mulai dapat dilakukan sehingga mampu membuat kendaraan-kendaraan tersebut terjangkau oleh masyarakat luas dan menjadi alat transportasi massal. Revolusi industri 2.0 ini juga memiliki dampak terhadap dunia pertanian. Dampak tersebut adalah pada kemudahan distribusi produk pertanian ke area lain yang jaraknya jauh. Kemudahan ini dapat terjadi akibat ketersediaan kendaraan-kendaraan transpotasi massal seperti kereta api dan kapal generasi baru serta kemunculan pesawat yang memampukan distribusi produk pertanian jarak jauh dengan cepat dan efisien. Di sisi lain pada saat revolusi industri 2.0 produksi pupuk komersial secara massal juga mulai diterapkan. Justus Freiherr von Liebig (1803 – 1873) adalah sosok ilmuan Jerman yang mencetuskan gagasan industri pupuk komersil ini.
Revolusi Industri Ketiga 3.0
Revolusi industri ketiga 3.0 terjadi
pada awal tahun 1970 an. Jika sebelumnya pada revolusi industri 1.0 & 2.0
proses produksi barang masih membutuhkan tenaga manusia dan mesin-mesin yang
secara manual masih dioperasikan oleh manusia, pada era revolusi industri 3.0,
tenaga kerja manusia mulai dikurangi dan digantikan dengan mesin-mesin otomatis
yang dikontrol oleh komputer (Annisa 2021). Revolusi industri 3.0 juga
menandakan mulai berakhirnya abad industri digantikan dengan abad informasi. Revolusi
industri 3.0 ditandai dengan teknologi informasi dan penggunaan mesin-mesin
elektronika otomatis yang dikontrol oleh komputer (Harahap 2019). Revolusi
industri 3.0 ini juga berdampak pada dunia pertanian, salah satu contohnya
yaitu adalah penerapan sistem penyiraman tanaman otomatis di lahan pertanian. Penelitian
yang dilakukan oleh Anisah dkk pada tahun 2018 berhasil merancang suatu sistem penyiram
tanaman otomatis yang bekerja berdasarkan kelembaban tanah di lahan. Sistem ini
dikendalikan oleh komputer Arduino Uno R3 dan dilengkapi dengan sensor pendeteksi
kelembaban tanah untuk mendeteksi kelembaban tanah di lahan dan mengambil
keputusan untuk menyiram atau tidak menyiram lahan tersebut secara otomatis
berdasarkan pengolahan data yang diambil (Anisah 2018).
Gambar 3.1 mesin-mesin otomatis mulai
mengurangi keperluan akan tenaga kerja manusia (sumber: wikipedia.org)
Gambar 3.2 mesin perakitan yang bekerja secara otomatis tanpa bantuan
operator manusia (sumber: marketwatch.com)
Revolusi Industri Keempat 4.0
Istilah revolusi industri keempat 4.0 pertama
kali diciptakan pada tahun 2011 di Jerman, walaupun begitu zaman revolusi
industri 4.0 sendiri baru dimulai pada tahun 2018. Revolusi industri 4.0
ditandai dengan adanya revolusi digital yang menggabungkan teknologi
otomatisasi dengan teknologi cyber. Berbeda dengan revolusi industri
sebelumnya, revolusi industri 4.0 mengembangkan konsep Internet of Things
(IoT) beriringan dengan teknologi-teknologi baru seperti pada bidang robotika,
sains, dll (Annisa 2021). Contoh nyata dari penerapan revolusi industri 4.0
adalah aplikasi pasar online, aplikasi ini berhasil menggabungkan bidang
pemasaran dengan bidang IoT sehingga memudahkan transaksi antara penjual dengan
pembeli melalui dunia cyber. Revolusi industri 4.0 juga telah diterapkan dan memberikan
dampak pada dunia pertanian, contohnya yaitu aplikasi plantix. Aplikasi ini
memberikan layanan asistensi pada petani tentang diagnosis penyakit tanaman dan
sarana komunikasi dengan pakar pertanian di seluruh dunia. Aplikasi ini
berhasil menggabungkan bidang pertanian dengan bidang IoT sehingga memudahkan
proses diagnosis penyakit tanaman dan komunikasi antar petani di seluruh dunia
melalui dunia cyber.
Gambar 4.1 contoh aplikasi digital yang mampu menggabungkan IoT dengan pemasaran (sumber:
pinterest.com)
Gambar 4.2 contoh aplikasi digital yang mampu menggabungkan IoT dengan pertanian
(sumber: wordpress.com)
Revolusi industri ketiga 3.0 terjadi
pada awal tahun 1970 an. Jika sebelumnya pada revolusi industri 1.0 & 2.0
proses produksi barang masih membutuhkan tenaga manusia dan mesin-mesin yang
secara manual masih dioperasikan oleh manusia, pada era revolusi industri 3.0,
tenaga kerja manusia mulai dikurangi dan digantikan dengan mesin-mesin otomatis
yang dikontrol oleh komputer (Annisa 2021). Revolusi industri 3.0 juga
menandakan mulai berakhirnya abad industri digantikan dengan abad informasi. Revolusi
industri 3.0 ditandai dengan teknologi informasi dan penggunaan mesin-mesin
elektronika otomatis yang dikontrol oleh komputer (Harahap 2019). Revolusi
industri 3.0 ini juga berdampak pada dunia pertanian, salah satu contohnya
yaitu adalah penerapan sistem penyiraman tanaman otomatis di lahan pertanian. Penelitian
yang dilakukan oleh Anisah dkk pada tahun 2018 berhasil merancang suatu sistem penyiram
tanaman otomatis yang bekerja berdasarkan kelembaban tanah di lahan. Sistem ini
dikendalikan oleh komputer Arduino Uno R3 dan dilengkapi dengan sensor pendeteksi
kelembaban tanah untuk mendeteksi kelembaban tanah di lahan dan mengambil
keputusan untuk menyiram atau tidak menyiram lahan tersebut secara otomatis
berdasarkan pengolahan data yang diambil (Anisah 2018).
Revolusi Industri Keempat 4.0
Istilah revolusi industri keempat 4.0 pertama kali diciptakan pada tahun 2011 di Jerman, walaupun begitu zaman revolusi industri 4.0 sendiri baru dimulai pada tahun 2018. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan adanya revolusi digital yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Berbeda dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri 4.0 mengembangkan konsep Internet of Things (IoT) beriringan dengan teknologi-teknologi baru seperti pada bidang robotika, sains, dll (Annisa 2021). Contoh nyata dari penerapan revolusi industri 4.0 adalah aplikasi pasar online, aplikasi ini berhasil menggabungkan bidang pemasaran dengan bidang IoT sehingga memudahkan transaksi antara penjual dengan pembeli melalui dunia cyber. Revolusi industri 4.0 juga telah diterapkan dan memberikan dampak pada dunia pertanian, contohnya yaitu aplikasi plantix. Aplikasi ini memberikan layanan asistensi pada petani tentang diagnosis penyakit tanaman dan sarana komunikasi dengan pakar pertanian di seluruh dunia. Aplikasi ini berhasil menggabungkan bidang pertanian dengan bidang IoT sehingga memudahkan proses diagnosis penyakit tanaman dan komunikasi antar petani di seluruh dunia melalui dunia cyber.
Bagaimana Kondisi Pertanian Di Indonesia Saat Ini?
Sektor pertanian di Indonesia hingga
saat ini mayoritas masih dijalankan oleh generasi tua. Susilowati (2016)
menjelaskan bahwa trend perkembangan kelompok usia tenaga kerja pertanian
tingkat nasional Indonesia dari tahun 2010 – 2014 cenderung di kuasai oleh usia
25th – 54th dan usia diatas 55th, mayoritas
40% tenaga kerja tersebut hanya dibekali pendidikan sekolah dasar, di lain sisi
hanya 1% tenaga kerja pertanian yang dibekali pendidikan dari perguruan tinggi.
Hal ini tentu bisa mempengaruhi kualitas & kuantitas produksi serta kecepatan
adopsi atau invensi teknologi baru pada sektor pertanian di Indonesia. Kinerja
tenaga kerja usia lanjut tentu lebih terbatas bila dibandingkan dengan kinerja
tenaga kerja usia muda/produktif. Selain itu jika hanya sedikit tenaga kerja
ahli (lulusan perguruan tinggi) yang terlibat dalam pengelolaan sektor
pertanian maka umumnya proses perkembangan atau penerapan teknologi baru di sektor
pertanian juga akan cenderung berjalan lambat.
Bagaimana Penerapan Teknologi Pertanian Di Indonesia?
Kegiatan pertanian di Indonesia sebenarnya
sudah menerapkan penggunaan teknologi modern, hanya saja teknologi yang di
terapkan harus disesuaikan dengan kondisi lahan yang dimiliki oleh
masing-masing petani. Misalnya jika petani hanya memiliki sepetak lahan dengan
luas 1 hektar atau kurang dari itu, maka penggunaan teknologi traktor berukuran
besar malah tidak diperlukan. Jika dipaksakan menggunakan traktor berukuran
besar untuk mengelola lahan kecil tersebut, maka kegiatan pengelolaan lahan
malah berlangsung secara tidak efisien dan biaya operasional lahan juga akan
membesar tanpa diimbangi dengan hasil keuntungan yang diperoleh dari lahan
tersebut, penerapan teknologi seperti ini malah dapat membuat rugi petani. Salah
satu contoh penerapan teknologi modern yang menguntungkan pada lahan kecil
tersebut adalah pemasangan instalasi penyiraman lahan otomatis dengan sistem
tetes yang bisa menentukan kapan dan seberapa banyak air yang harus
didistribusikan ke lahan berdasarkan kondisi kelembaban tanah pada lahan
tersebut. Dengan menggunakan sistem ini, maka volume air yang didistribusikan ke
lahan dapat dikendalikan secara presisi dan efisien serta mencegah pemborosan
penggunaan air. Disamping itu, sistem ini juga bisa mengurangi kebutuhan tenaga
kerja tambahan yang bertugas untuk mengairi lahan tersebut.
Apa Saja Penerapan Teknologi yang Mungkin Di Terapkan Di Pertanian Indonesia
Contoh penerapan teknologi modern hasil
dari revolusi industri 3.0 & 4.0 yang bisa di terapkan di sektor pertanian
Indonesia adalah:
Transplanter, teknologi ini berfungsi untuk membantu petani dalam menanam benih tanaman hasil penyemaian dengan rapi dan jarak tanam yang sama pada lahan. Transplanter umumnya masih memerlukan bantuan tenaga manusia sebagai operator alat tersebut, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin untuk mengembangkan transplanter yang dapat bekerja secara otomatis di lahan tanpa memerlukan bantuan manusia.
Indo Combine Harverster, teknologi ini mampu membantu petani dalam melakukan proses panen padi mulai dari proses memotong, mengangkut, merontokkan, membersihkan, melakukan sortasi, sampai mengantongi hasil sortasinya. Dengan menggunakan teknologi ini, maka waktu pemanenan padi dapat berlangsung dengan lebih singkat dan jumlah tenaga kerja yang digunakan juga dapat dikurangi sehingga mampu menekan biaya tenaga kerja pemanen.
Daftar Pustaka
Annisa,
A. (2021). Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 Sampai 4.0. Bandung. Universitas
Pendidikan Indonesia. Jurnal Ilmiah.
Annisah,
M., Siswandi, M. Noer, NL. Husni. (2018). Penyiraman Otomatis Berdasarkan
Sensor Kelembaban Tanah. Palembang. Politeknik Negeri Sriwijaya. Jurnal
Teknika 3 (2): 1 – 12.
Harahap,
N. J. (2019). Mahasiswa dan Revolusi Industri 4.0. Ecobisma J. Ekon. Bisnis
dan Manaj. 6 (1): 70 – 78.
Mohajan,
H. K. (2019). The First Industrial Revolution: Creation of a New Global Human
Era. Chittagong. Premier University. Journal of Social Science and Humanities
5 (4): 377 – 387.
Susilowati
S. H. (2016). Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda Serta
Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 34 (1): 35 – 36.
Link menuju Web UPNVJT: www.upnjatim.ac.id
Link menuju Web Agroteknologi UPNVJT: agrotek.upnjatim.ac.id
Betul saya setuju memang penerapan teknologi modern dalam sektor pertanian Indonesia adalah langkah yang sangat positif. Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia yang mayoritasnya berusia lanjut. Teknologi seperti transplanter dan Indo Combine Harvester membantu petani dalam proses penanaman dan panen, yang pada gilirannya menghasilkan hasil yang lebih baik dan memungkinkan penghematan biaya. Sistem otomatisasi penyiraman lahan juga membantu dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien. Dengan adopsi teknologi ini, pertanian Indonesia dapat menjadi lebih berkelanjutan, menghasilkan hasil yang lebih baik, dan membantu menarik generasi muda ke sektor pertanian.
BalasHapusInformasi yang bermanfaat, terimakasih!
BalasHapus